Politik Identitas Menjelang Pilkada Serentak

Politik Identitas Menjelang Pilkada Serentak

Menjelang perhelatan Pilkada Serentak, salah satu kekhawatiran terbesar yang kembali muncul adalah potensi menguatnya praktik politik identitas. Penggunaan sentimen suku, agama, dan ras (SARA) sebagai alat untuk memobilisasi dukungan dan menyerang lawan politik terbukti telah menjadi strategi yang efektif namun sangat merusak. Menjaga persatuan bangsa di tengah panasnya kompetisi politik menjadi tantangan krusial bagi semua pihak.

Mengapa Politik Identitas Begitu Efektif? Politik identitas bekerja dengan cara menyentuh emosi dan rasa kepemilikan kelompok yang paling primordial. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, politisi yang tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah mengeksploitasi perbedaan untuk menciptakan polarisasi “kita” versus “mereka”. Narasi semacam ini seringkali lebih mudah dicerna oleh sebagian pemilih dibandingkan dengan adu gagasan program atau kebijakan yang kompleks.

Dampak Merusak pada Kohesi Sosial Dampak dari penggunaan politik identitas sangat merusak. Ia tidak hanya menciptakan polarisasi politik yang tajam selama masa kampanye, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang sulit disembuhkan pasca-pilkada. Ketidakpercayaan dan prasangka antar kelompok dapat bertahan lama, mengancam kerukunan dan persatuan bangsa yang telah dibangun di atas fondasi Bhinneka Tunggal Ika.

Peran Kunci Literasi Digital dan Penegakan Hukum Melawan politik identitas membutuhkan pendekatan dari dua sisi. Dari sisi masyarakat, peningkatan literasi digital menjadi sangat krusial agar warga tidak mudah termakan oleh hoaks dan provokasi berbau SARA yang menyebar cepat di media sosial. Dari sisi negara, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap siapapun yang menggunakan sentimen SARA untuk kepentingan politik.

Intisari:

  • Ancaman Berulang: Penggunaan politik identitas menjelang Pilkada Serentak mengancam kerukunan dan persatuan bangsa.
  • Dampak Merusak: Memicu polarisasi politik dan meninggalkan luka sosial yang sulit disembuhkan.
  • Kekuatan SARA: Sentimen primordial sering dieksploitasi karena lebih mudah memobilisasi dukungan daripada adu program.
  • Solusi Ganda: Perlu dilawan dengan peningkatan literasi digital dan penegakan hukum yang tegas terhadap isu SARA.