Laju produksi sampah di kota-kota besar Indonesia telah melampaui kapasitas pengelolaannya, memicu krisis lingkungan yang mendesak. Untuk mengatasi masalah ini, Gerakan Zero Waste dan penerapan Ekonomi Sirkular menjadi solusi transformatif. Prinsip Circular Economy berlawanan dengan model linier (take-make-dispose), dengan menekankan pada optimalisasi material agar produk, komponen, dan bahan baku terus beredar dan bernilai.
Implementasi konsep ini melibatkan intervensi holistik dari hulu ke hilir. Di tingkat hulu, fokus adalah pada reduce dan reuse melalui perubahan perilaku konsumsi masyarakat dan inovasi produk yang minim sampah. Di tingkat hilir, fasilitas seperti Bank Sampah dan TPST dengan teknologi modern (seperti pengolahan sampah menjadi Refuse-Derived Fuel/RDF atau pakan maggot) berperan penting dalam proses recycle dan pemulihan material.
Contoh nyata kesuksesan terlihat di berbagai kota, di mana Bank Sampah telah berhasil mengelola tonase sampah harian dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilahan. Selain itu, munculnya inovasi pengolahan sampah organik menjadi pakan maggot (Black Soldier Fly) menunjukkan potensi ekonomi sirkular yang menggiurkan, mengubah limbah sisa makanan menjadi komoditas protein bernilai tinggi.
Keberhasilan implementasi ekonomi sirkular sangat bergantung pada kolaborasi multi-pihak: peran pemerintah daerah dalam menyediakan infrastruktur dan regulasi, peran swasta dalam investasi dan teknologi, serta partisipasi aktif dari masyarakat. Komitmen nasional melalui Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular juga menjadi fondasi kebijakan jangka panjang.
Dengan gerakan Zero Waste dan sistem Ekonomi Sirkular, sampah tidak lagi dianggap sebagai limbah, melainkan sebagai sumber daya baru yang memiliki nilai ekonomi. Transisi ini tidak hanya mengurangi timbunan sampah dan polusi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan.

